Minggu, 28 Februari 2010

Teknologi Robot dan Teknologi Manusia

Pada sebuah workshop robot di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Prof Pitoyo – ahli robot dari Future University, Jepang ditanya oleh seorang peserta, apakah kemajuan teknologi robot yang luar biasa ini kelak akan menyisihkan peran manusia dalam kehidupan. Tentu, kekhawatirannya didasarkan pada semakin tersisihnya manusia karena pekerjaannya bisa ditangani oleh robot dengan efisiensi dan presisi yang lebih akurat.

Kemudian, dengan optimis Prof Pitoyo menjawab: tidak! Dia mencontohkan saat kalkulator ditemukan 50 tahu yang lalu, orang khawatir bahwa kalkulator akan mereduksi akal manusia. Sebab, dia bisa dengan mudah menghitung dengan menyentuh tuts-tuts pada kalkulator , tanpa berpikir. Dengan hasil perhitungan 100% pasti benar. Namun, apa yang terjadi? 50 tahun lebih setelah ditemukannya kalkulator, kita masih juga memiliki kemampuan berhitung sampai ke tingkat yang rumit sekali pun. Bahkan, dari kalkulator, manusia kemudian menemukan teknologi computer yang jauh lebih canggih dibanding kalkulator.

Orang kemudian juga khawatir bahwa computer akan memberikan efek negative terhadap kehidupan manusia, ternyata hasilnya juga tidak seperti yang dikhawatirkan banyak orang. Justru computer membantu pekerjaan manusia dan memberikan hal-hal yang positif bagi kehidupan. Bahkan, teknologi computer membuat manusia bisa menemukan internet. Dan manusia masih tetap bisa berhitung dan berpikir bahkan dalam skala yang lebih rumit.

Penemuan teknologi robot memang luar biasa. Ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari system kecerdasan tiruan yang ditanamkan ke komputer. Saat ini, industri-industri manufaktur telah menggunakan bantuan robot sebagai tenaga kerja utamanya. Sedangkan manusia “hanya” bertugas mengawasi, mengontrol dan sedikit membantu pekerjaan robot. Dengan demikian, memang ada hal-hal yang sebelumnya adalah pekerjaan manusia diambil alih oleh robot. Namun, dengan kreativitasnya, manusia sanggup menemukan lapangan kerja baru untuk mengganti lapangan kerja yang “dicuri” oleh robot.

Kalau boleh menengok ke belakang, ini merupakan salah satu puncak pencapaian teknologi, konsekuensi dari revolusi industri. Budayawan Emha Ainun Nadjib pernah mengutarakan bahwa sejak zaman Renaisans Eropa yang menjadi tonggak awal revolusi industri, manusia mengalami perilaku terbalik yang luar biasa. Salah satu contohnya adalah mengandalkan teknologi eksternal untuk menggantikan kemampuan teknologi internalnya. Jika dulu ada anak sakit, maka dia cukup dibawa kepada seorang ahli penyembuhan. Sang ahli penyembuhan akan meniup ubun-ubun si anak, memberinya sedikit minum, maka sejenak kemudian anak itu akan sembuh.

Setelah revolusi industri, dimana obat diproduksi secara massif dan didistribusikan secara luas, kemampuan si ahli penyembuhan dipinggirkan. Maka, penyembuhan yang awalnya murah pun menjadi mahal. Sebab, penyembuhan telah berubah wajah dari logika sosial tolong-menolong menjadi bagian dari logika industri yang menomorsatukan laba besar.

Boleh jadi ini memang konsekuensi yang masuk akal dari semakin banyaknya jumlah penduduk bumi. Bayangkan jika penduduk bumi yang jumlahnya 6-7 milyard ini hidup di zaman sebelum revolusi industry, apakah makanan yang tersedia akan cukup. Apakah makanan dari hutan mampu menghidupi orang sebanyak itu? Apakah teknologi pertanian saat itu mampu untuk menghasilkan makanan bagi manusia sebanyak itu?

Jadi, sangat mungkin, kemampuan manusia dalam pencapaian-pencapaian teknologi tinggi saat ini adalah bagian dari upayanya untuk mengatasi kemunduran teknologi internalnya. Sehingga, kendati pun manusia kehilangan teknologi internal, dia sanggup menggantikannya dengan teknologi eksternal yang dia rekayasa sendiri. Bahkan, pada saatnya nanti, bisa jadi teknologi eksternal yang dihasilkan manusia mampu menyamai zaman puncak teknologi internal di masa Raja Sulaiman. (Bagian pertama dari 2 tulisan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar